Oleh : Endang Fatmawati
Sumber : Visi Pustaka, Vol.12 No.2 – Agustus 2010, http://www.pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=140
Abstrak :
Paradigma merupakan pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subyek matter) dari suatu cabang ilmu. Paradigma perpustakaan saat ini telah bergeser ke arah generasi millennial. Millennials adalah nama pendek dari generasi Y, yaitu sebuah generasi dimana pemustaka berperilaku sebagai seseorang yang haus akan ilmu pengetahuan. Paradigma perpustakaan generasi millennial ini dicirikan adanya masyarakat pembelajar yang selalu berinteraksi dengan internet dimanapun dan kapanpun membutuhkan informasi. Jadi layanan perpustakaan yang masih “jadul” harus berbenah dan harus mampu mengakomodasi perubahan perilaku masyarakat dalam akses informasi. Adanya kemajuan iptek, maka perpustakaan harus selalu mencari jalan dengan pemanfaatan inovasi teknologi informasi terbaru agar kualitas layanan menjadi semakin terus meningkat. Pemustaka yang dalam kehidupannya selalu bersinggungan dengan peralatan teknologi sering diistilahkan dengan generasi gadget.
Pendahuluan
Mengingat apa yang pernah dikemukakan oleh S.R. Raganathan mengenai “Five Laws of Library Science”, maka pada dasarnya saya sepakat dengan kelima hal tersebut. Namun saya lebih senang dengan point yang kelima, yaitu “The library is growing organism”. Artinya bahwa perpustakaan itu adalah suatu organisme yang selalu berkembang. Berkembang disini berarti tumbuh menjadi lebih baik tentunya. Hal ini seperti yang terlihat pada perpustakaan saat ini yang begitu sangat pesat perkembangannya.
Kondisi perpustakaan saat ini menunjukkan bahwa inovasi layanan perpustakaan mulai tumbuh berkembang secara refleksif terhadap lahirnya generasi millennial. Lalu apakah dengan hadirnya internet membuat perpustakaan sepi pengunjung? Apalagi saat ini, mau cari apapun sudah langsung pasti menggunakan “Google”. Sekali ketik dan klik di google seketika itu juga muncul ribuan hit yang ditemukan. Bahkan sebagai guyonan malah diistilahkan dengan ‘Professor Google”. Nah, agar perpustakaan tidak ditinggal lari pemustaka dan agar pengunjung tidak semakin berkurang, maka perpustakaan harus tanggap dalam menyambut perubahan ini.
Apakah dengan hadirnya internet perpustakaan akan ditinggalkan pemustakanya? Saya kira apabila perpustakaan tanggap terhadap perubahan dan memperbaiki kekurangan, maka perpustakaan tetap banyak diminati pemustaka. Lalu apa bedanya perpustakaan dengan internet? Menurut saya perbedaannya terletak pada kandungan informasinya. Apabila internet terkadang informasi yang didapatkan tidak penuh, sedangkan di perpustakaan informasi yang didapatkan bisa secara penuh melalui dokumen fisiknya.
Era informasi dan keterbukaan saat ini semakin menunjukkan bahwa betapa pentingnya informasi tersebut. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah demikian pesatnya berkembang. Generasi web 2.0 telah menggiring manusia untuk berlomba-lomba dalam berinteraksi dengan komputer. Saat ini laptop dan note book bukan lagi merupakan barang yang mewah dan langka. Hampir di setiap tempat selalu kita dapatkan orang yang membuka laptop. Apalagi jika wifi area, maka pasti lebih mengasyikkan tentunya karena orang tersebut akan semakin mudah berselancar ke internet. Tempat favorit yang saat ini menjamur, misalnya: saat menunggu transportasi di halte, stasiun, maupun di tempat tunggu lainnya. Bisa dibayangkan kira-kira sepuluh tahun lagi akan seperti apa generasinya?
Penerapan Iptek
Tidak ada bangsa di dunia ini termasuk bangsa Indonesia yang tidak ingin menjadi maju. Semuanya pasti menginginkan menjadi negara yang maju dan berjaya. Nah yang menjadi salah satu faktor kunci kemajuan suatu bangsa adalah terletak pada ipteknya. Lihat saja, bukankah negara-negar yang berjaya seperti: adi kuasa (powerful), kaya raya (prosperous), sampai berprestise (prestigious) juga awalnya bermodalkan iptek?
Berdasarkan ilustrasi tersebut berarti untuk menuju ke arah perubahan menjadi perpustakaan millennial merupakan suatu tantangan yang tidak mudah, namun memerlukan sutu proses yang bercakupan sangat luas. Mau tidak mau perpustakaan harus menanggapi dan mengikuti perubahan dalam layanan di era generasi millennial ini.
Kemajuan iptek melalui inovasinya sekarang telah merasuk dan mengakar dalam segala bentuk kegiatan yang tercermin dari perilaku masyarakat dalam akses informasi. Pengetahuan (knowledge) menjadi salah satu keunggulan kompetitif yang perlu dimiliki oleh suatu bangsa untuk bersaing secara global. Sehingga untuk mencapai berbagai pengetahuan teknologi informasi diperlukan berbagai upaya dan kreativitas yang komplek.
Menurut pandangan penulis, maka pendapat Zuhal berikut dapat sebagai wacana yang memungkinkan bisa diaplikasikan oleh perpustakaan dalam menghadapi pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Menurut Zuhal (2000: 70), bahwa untuk menjamin tercapainya hasil dan daya guna suatu proses pengalihan, penerapan, dan pengembangan iptek, maka ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Perlunya diselenggarakan pendidikan dan pelatihan dalam berbagai bidang iptek yang relevan.
2. Perkembangan konsep yang jelas, realistis, dan dapat dilaksanakan secara konsekuen tentang masyarakat yang ingin dibangun di masa depan serta teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya.
3. Teknologi bersifat tidak dapat dimengerti apabila hanya dikembangkan secara abstrak, sehingga perlu ditekankan bahwa teknologi hanya dapat dikuasai dan dikembangkan lebih lanjut jika masyarakat benar-benar menerapkan pemecahan masalah secara konkret.
4. Harus memiliki tekad yang kuat untuk berupaya sendiri dalam memecahkan masalah teknologi yang dihadapi.
5. Perkembangan kemampuan nasional di bidang teknologi biasanya pada tahap awal masih memerlukan perlindungan, dan berlangsung sampai dengan tercapainya kemampuan bersaing secara internasional.
Oleh karena itu, penerapan iptek di perpustakaan harus dievaluasi dan diperbaiki secara terus-menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan seiring dengan hadirnya inovasi teknologi iptek yang baru.
Pergeseran Paradigma Perpustakaan
Pernahkah kita melihat sepasang suami istri yang sedang makan di cafe, namun keduanya malah tidak saling berkomunikasi/berinteraksi? Apa yang dilakukan mereka? Wow… ternyata mereka sibuk dengan Hpnya masing-masing. Entah itu browsing, email, chatting, face book, dan berbagai aktivitas lainnya. Hal inilah salah satu fenomena sosial yang terjadi di masyarakat kita bahwa HPpun bisa multi fungsi.
Apabila melihat arti dari millenium, maka kata latin ‘millennium’ bisa diartikan dengan ‘seribu tahun’. Kata millennium merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ‘mille’ artinya seribu dan ‘annus’ yang artinya tahun. Selanjutnya indikasi dari era millennium tersebut adanya fenomena sosial yang ditampakkan oleh perilaku pemustakanya. Hal ini jelas akan didominasi oleh generasi muda yang sangat familiar dengan yang namanya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat jelas berdampak secara signifikan terhadap eksistensi perpustakaan. Sebuah perpustakaan harus tanggap mengenai trend TIK tersebut. Tuntutan kemudahan akses informasi yang serba instan, tepat, dan adanya ketersediaan fasilitas (tools) yang diaplikasikan akan merepresentasikan sistem layanan informasi yang dilayankan perpustakaan.
Menurut pandangan penulis, maka berikut saya sampaikan beberapa hal yang bisa dijadikan wacana untuk merubah paradigma dalam wajah baru perpustakaan era millennial. Bentuk aplikasinya antara lain adalah:
1. Perpustakaan harus menyediakan wifi area atau hotspot area, sehingga memungkinkan pemustaka mudah untuk berselancar mencari informasi melalui internet. Masak perpustakaan kalah dengan foodcourt, supermarket/mal, pusat kota, dan tempat lainnya yang menyediakan free hotspot area?
2. Perpustakaan seharusnya sudah tidak ada lagi larangan-larangan yang mengesankan perpustakaan itu birokratis dan ‘horor’. Misalnya: simbol menutup mulut dengan ibu jari (ssstttt….), harap tenang, dilarang ramai, handphone harap dimatikan, dilarang pakai kaos oblong, dilarang pakai sandal jepit, dan lain sebagainya. Khusus untuk pakaian, saya kira cukup dengan berpakaian rapi dan sopan sudah cukup. Apalagi untuk jenis perpustakaan umum, masak petani dan tukang becak harus pakai sepatu dulu jika mau ke perpustakaan?
3. Perpustakaan sudah saatnya mulai mengubah atmosfer perpustakaan agar menjadi pusat belajar bagi masyarakatnya. Seandainya ada larangan sebaiknya kalimat peringatan dibuat yang lebih sopan, misalnya diawali dengan kata “Mohon….”. Bukankah yang penting bagi pemustaka adalah mendapatkan informasinya dan bukan penampilannya?
4. Perpustakaan sebaiknya tidak hanya nampak dengan paradigma lama yang terkesan kaku dan feodal dengan fasilitas gedung megah, perabot, rak, meja, ataupun kursi saja. Namun alangkah lebih baik jika dibuat corner-corner khusus yang mengedepankan nilai seni/artistik desain interiornya. Bentuk rak yang unik dipadu dengan furnitur serta perpaduan cat warna ruangan yang mengandung nilai seni akan membuat pemustaka merasa nyaman berada di dalam corner tersebut. Karpet, sofa, meja pendek, maupun lesehan busa sangat mengesankan bahwa berada di ruang perpustakaan sangat menyenangkan seperi layaknya berada di rumah.
5. Perpustakaan seharusnya sudah tidak melarang pemustaka yang membawa laptop ke ruang perpustakaan. Namun demikian, perpustakaan malah seharusnya menyediakan akses ‘colokan’ arus listrik yang tersebar di beberapa tempat. Lebih baik jika model satu meja carrel dengan satu colokan, sehingga pemustaka lebih bisa privacy. Semakin banyak animo pemustaka ke perpustakaan membawa laptop berarti menunjukkan tingkat melek terhadap teknologi informasi juga tinggi.
6. Seharusnya sudah tidak perlu ada lagi larangan makan dan minum di ruang perpustakaan. Saya rasa para pemustaka sudah “dewasa” bagaimana menjaga agar sisa makanan maupun minyak tidak akan mengotori atau mengenai buku. Bayangkan jika perpustakaan juga menyediakan semacam corner untuk jual makanan kecil dan minuman? Misalnya: soft drink, pop mie, roti, permen, dan makanan ringan lainnya. Wah pasti pemustaka akan merasa senang, karena jika lapar sementara posisi sedang browsing informasi di perpustakaan, maka tidak perlu repot keluar dari area perpustakaan. Syukur perpustakaan juga menyediakan air minum (galon) yang gratis untuk pemustaka.
7. Seharusnya sudah tidak ada lagi sistem aturan perpustakaan yang terlalu ‘birokratis’, misalnya prosedur foto kopi, prosedur jadi anggota, prosedur membuat kartu, dan prosedur lainnya yang banyak persyaratan dan berbelit-belit. Aturan sistem perpustakaan yang sederhana akan memudahkan pemustaka dan bisa mempersuasif orang lain untuk akses ke perpustakaan.
8. Perpustakaan juga tidak perlu lagi ada larangan tidak boleh membawa stofmap, jaket, dan lain sebagainya ke ruang perpustakaan. Namun perpustakaan sebaiknya melengkapi dengan back up teknologi, seperti RFID maupun sensor alarm.
9. Perpustakaan harus terus mengembangkan dengan inovasi teknologi informasi terbaru, baik meliputi infrastuktur dan fasilitasnya. Perpustakaan harus membangun link dan jejaring dengan perpustakaan lainnya, serta memperbanyak melanggan e-journal dan e-books.
Generasi Gadget
Istilah yang sepertinya tepat digunakan untuk menandai munculnya generasi millennial adalah generasi gadget. Gadget sebenarnya lebih pas diartikan dengan peralatan. Sehingga generasi gadget dimaksudkan dengan generasi yang dalam kehidupannya selalu bersinggungan dengan yang namanya peralatan yang mengandung unsur teknologi informasi. Jadi seolah-olah berbagai peralatan tersebut telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Seolah-olah berbagai alat high-technology telah menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Coba bayangkan manakala orang bepergian lupa membawa HP, maka orang tersebut rela kembali ke rumah untuk mengambil HP. Kenapa? Sedemikian pentingnya fungsi HP bagi orang tersebut. Ada orang yang sehari tidak mengecek e-mail yang masuk, maka rasanya sudah seperti kehausan ingin segera membuka. Apakah perilaku kita di era millennial ini juga sudah demikian?
Menurut Absher dan Amidjaya (2008) bahwa generasi millennial itu merupakan generasi yang lahirnya berkisar antara 1982 sampai dengan 2002. Generasi dalam era millennial ini seperti: google generation, net generation, generation Z, echo boomers, dan dumbest generation. Oleh karena itu, masyarakat generasi millennial itu bisa ditandai dengan meningkatnya penggunaan alat komunikasi, media dan teknologi informasi yang digunakan. Misalnya: internet, email, SMS, IM, MP3 Player, HP, Youtube, dan lain sebagainya.
Tapscott (2008: 15) menyatakan bahwa sebutan istilah untuk generasi baru millennial ini ada yang disebut sebagai generasi Z. Beberapa karakteristik generasi Z ini, seperti: masyarakat menginginkan kebebasan di dalam bertindak mulai dari memilih sampai dengan kebebasan untuk berekspresi, sangat senang melakukan customization dan personalisasi. Jadi hadirnya generasi Z ini jelas akan menjadi pengawas baru dan komentator serta pendorong perubahan sebuah perpustakaan.
Masyarakat era generasi Z sangat mengandalkan adanya kecepatan yang serba instan, sehingga real time adalah syarat utama untuk berkoneksi dengan generasi Z ini. Kemudahan informasi dapat diperoleh dengan internet. Generasi millennial merupakan inovator, karena mereka mencari, belajar dan bekerja di dalam lingkungan inovasi yang sangat mengandalkan teknologi untuk melakukan perubahan di dalam berbagai aspek kehidupannya.
Hal yang mencirikan dari generasi Z ini jelas semuanya berhubungan dengan teknologi, misalnya: 1). Instant Communications, bahwa generasi ini tinggal di lingkungan real time dan mencari cara yang nyaman untuk komunikasi. Jadi komunikasi instan merupakan kata kunci penting dan merupakan kenyamanan untuk melakukan apa yang mereka senangi; 2). Network Development, yaitu mengembangkan jaringan yang memungkinkan generasi ini untuk terhubung satu sama lain untuk berkoneksi dan kolaborasi. Jadi kolaborasi merupakan oksigen baru di dalam merancang kebebasan mereka; 3). Gadget-Powered Connection, yaitu generasi pencinta gadget yang selalu me¬nyedia¬kan koneksi melalui gadget (seperti: handphone (mobile), permainan platform, laptop/netbook, dan lain-lain). Jadi adopsi terhadap teknologi menjadi sangat hyper untuk generasi Z ini.
Sikap Bijak Generasi Millennial
Saya rasa sangat diperlukan sikap bijak dalam era internet. Internet ibarat seperti ‘pisau’. Jadi tinggal orang yang mau menggunakan untuk apa, apa untuk kebaikan atau malah keburukan. Tulisan yang disampaikan melalui internet akan cepat sekali terakses dari manapun. Masih ingat kasus Pitra Mulyasari? Era internet memang era transparansi/ keterbukaan, karena siapapun juga dapat mengungkapkan segala perasaannya melalui internet, entah itu respon baik ataupun buruk. Kita sadari atau tidak bahwa informasi itu ada dimana-mana. Ledakan informasi telah menggiring sebuah perubahan besar dalam mempengaruhi perilaku masyarakat yang akses informasi.
Informasi bisa menarik bagi seseorang, namun juga bisa menjadi tidak menarik bagi orang lain. Perilaku masyarakat Indonesia di era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi informasi saat ini telah mengindikasikan adanya perubahan mendasar pada sebuah generasi dalam mendapatkan informasi. Hal inilah yang merepresentasikan sebuah generasi millennial yang lahir di tengah pertumbuhan komputer dan internet yang demikian pesat. Pelayanan perpustakaan pada generasi millennial ini harus bisa adaptif dan siap saji dalam melayani masyarakatnya.
Perpustakaan menjadi sangat prospektif dalam pengembangan ke depannya. Pelayanan di perpustakaan harus bisa secara refleksif terhadap munculnya generasi millennial ini. Perpustakaan harus mengubah paradigma yang terkesan ‘angker/horor’ menjadi paradigma perpustakaan online dengan layanan yang berbasis web. Perpustakaan saat ini harus mengedepankan mutu layanan informasi yang multi peran. Saya rasa free hotspot area maupun pemasangan wifi area merupakan sesuatu yang wajib di sebuah perpustakaan dalam era generasi millennial ini.
Dunia seakan telah menjadi kampung global (global village). Sementara internet sendiri sudah mulai merambah (booming) di Indonesia sejak tahun 2000-an. Ya kalau saat ini internet sudah tidak lagi demam yang mewabah di masyarakat, namun internet sudah sangat menjamur khususnya pada kalangan profesional, pelajar, maupun mahasiswa. Jadi pemustaka datang ke perpustakaan membawa laptop sudah tidak sekedar trend saja, melainkan sudah menjadi sebuah kebutuhan.
Generasi millennial memungkinkan laptop untuk selalu dibawa kemanapun, baik itu dengan HP, BB, Nintendo DS, dan yang lainnya. Bahkan internet sudah menjadi ‘alat vital’ yang merasuk dalam kehidupan masyarakat era millennial. Jadi layanan perpustakaan yang masih ‘jadul’ harus berbenah dan harus mampu mengakomodasi perubahan perilaku masyarakat dalam akses informasi.
Perpustakaan harus mengubah kesan birokratis dan prosedural, seperti tidak boleh ini, tidak boleh itu…, dan berbagai macam larangan lainnya. Justru era generasi millennial sekarang perpustakaan harus merombak semua itu. Bukannya yang tepenting adalah kemudahan akses informasi bagi mereka? Jadi perpustakaan harus adaptable with change, friendly dan ‘gaul’ dengan pemustakanya, mampu “jemput bola’ dengan mengetahui apa yang menjadi keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) pemustakanya.
Sungguh sebuah PR dan tugas berat juga bagi para pustakawan, karena untuk melayani pemustaka di era generasi millennial ini dibutuhkan suatu kompetensi dan keprofesionalan dalam menguasai teknologi informasi. Agar tidak terjadi kesenjangan antara pustakawan dan pemustaka, maka pustakawan harus tidak ‘gaptek’, tapi harus mengimbangi dengan belajar, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat saat ini. Pustakawan harus mampu menerapkan kompetensinya, yang meliputi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan sikap (attitude) dalam melayani pemustakanya, baik yang meliputi kompetensi profesional maupun personal. Karena bagaimanapun ujung tombak perpustakaan di generasi millennial ini adalah di bagian layanan perpustakaannya. Bisa dibayangkan jika layanannya saja belum berbasis web? Sementara pemustaka generasi millennial sudah familiar yang namanya web?
Penutup
Akhirnya generasi millennial dalam kajian informasi menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi pelaku kebijakan untuk mengubah paradigma lama dari perpustakaan. Era generasi millennial saat ini berprinsip bahwa mengakses informasi bisa dilakukan dengan mudah dengan berselancar internet kapan dan dimana saja, tidak harus ke perpustakaan. Jadi agar perpustakaan tidak ditinggal pemustakanya, maka perpustakaan harus berbenah dalam penyediaan berbagai sarana prasarana, fasilitas, infrastuktur, dan aspek kebijakan organisasi perpustakaan yang mendukung generasi millennial. Selain itu, yang tidak boleh ketinggalan pengelola perpustakaan dan pustakawannya juga harus information literate terhadap adanya pergeseran perubahan generasi millennial dalam kajian informasi saat ini.
Daftar Pustaka
Kamil, Harkrisyati & Sonda, Endang Wiwik. Makalah yang disampaikan dalam Seminar “Menghadirkan Perpustakaan Untuk Generasi Millennial (Presenting a Library for Millennial Generation)” tanggal 4 Maret 2010 di UC UGM Yogyakarta.
Tapscott, Don. 2008. Grown up Digital: How the Net Generation is Changing Your World. USA: McGraw Hill.
Zuhal. 2000. Visi Iptek Memasuki Milenium III. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).