Potensi-potensi teknologi informasi untuk pendidikan melahirkan konsep yang disebut pemelajaran elektronik (e-learning) dalam sebuah lingkungan virtual (virtual learning environment). Menurut Rosenberg (2001), e-learning selalu dihubungkan dengan Internet, sebagai teknologi yang memungkinkan penyampaian pengetahuan secara meluas, dan didasarkan pada 3 ciri utama teknologi ini:

  • Pertama, e-learning memanfaatkan teknologi jaringan yang memungkinkan pemakaian informasi secara bersama dari berbagai tempat terpisah sambil sekaligus melakukan pembaruan (updating), penyimpanan, penemuan, dan penyebaran pengetahuan secara terus menerus.
  • Kedua, e-learning memungkinkan penggunaan berbagai aplikasi teknologi komunikasi karena kini Internet sudah memiliki protokol dan standar yang memungkinkan penggunaan berbagai media digital secara bersama-sama, dus mendukung ciri pertama.
  • Ketiga, berkat potensi teknologi sebagaimana disebut pada butir pertama dan kedua di atas, maka e-learning dapat menjadi paradigma baru yang berdasarkan pandangan luas tentang peran pendidikan, sehingga pendidikan tidak melulu menjadi pelatihan atau pemindahan pengetahuan, tetapi pemelajaran yang holistik dan terus-menerus.

Dengan kata lain, e-learning sebenarnya bukan hanya pemanfaatan teknologi Internet yang tersebar itu, melainkan juga pengejawantahan dari cara baru dalam memandang peran pendidikan di kehidupan manusia. Garrison dan Anderson (2003) melihat potensi e-learning sebagai sebuah sistem yang tidak hanya terbuka tetapi juga sekaligus komunikatif dan interaktif. Keterbukaan Internet memang sebuah ciri yang paling menawan dari teknologi ini. Namun keterbukaan ini juga menghadirkan kelimpahruahan informasi yang belum tentu positif bagi kegiatan belajar-mengajar. Konsep e-learning disusun sebagai upaya mengimbangi risiko dari kelimpahruahan ini dengan penciptaan apa yang disebut ‘ekologi pemelajaran’ (learning ecology), yaitu sebuah tata lingkungan belajar yang mencampurkan sifat keberagaman dengan kolaborasi secara dinamis. Peserta didik mendapat kesempatan untuk menjadi independen (independent learner), menerima masukan pengetahuan dari mana-mana, tetapi juga memiliki kontak untuk membangun pengetahuan bersama-sama secara kolaboratif.

Memang, dalam perkembangan penggunaan teknologi komunikasi di dunia pendidikan, sering ada risiko bahwa teknologi telematika meningkatkan isolasi individu. Penggunaan alat-alat elektronik pribadi (mulai dari komputer pribadi sampai telepon genggam, dan kini iPod) memberikan semacam otonomi kepada pribadi-pribadi, sehingga -jika mau- mereka dapat mengisolasi diri dari masyarakatnya untuk berkonsentrasi pada apa yang mereka lakukan sendirian. Ketika konsep pemelajaran jarak-jauh (distance learning) pertamakali dikembangkan menggunakan teknologi satelit, perasaan terisolasi di kalangan pesera didik adalah salah satu masalah yang muncul. Kita ketahui bahwa kemudian persoalan ini diatasi dengan pembentukan kelompok-kelompok belajar yang bertemu secara teratur di sebuah tempat.

Penggunaan teknologi Internet untuk pendidikan juga memungkinkan munculnya risiko terisolasi seperti di atas, terutama jika teknologi ini hanya dipakai untuk memperluas cakupan pemelajaran jarak jauh. Sebab itulah, konsep e-learning memang tidak hanya bertumpu pada kelebihan-kelebihan telematika dari segi luas jangkauan wilayah, jumlah informasi dan isi pengetahuan yang besar, atau kecepatan pengiriman informasinya saja. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan dalam penerapan e-learning seharusnya mencakup pula beberapa hal penting, seperti:

  • Lingkungan belajar yang memungkinkan kelas, perpustakaan, laboratorium, rumah, dan tempat kerja menjadi satu kesatuan virtual yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik secara bersamaan dan berkesinambungan.
  • Isi pengetahuan dan materi pendidikan yang cenderung statis atau lambat berubah di jaman cetak, kini dapat lebih ‘cair’ karena siklus antara produksi, konsumsi, dan reproduksi pengetahuan menjadi begitu leluasa serta cepat.
  • Teknologi memberikan kesempatan yang lebih luas bagi peserta didik untuk mengembangkan diri secara pribadi, dengan keleluasaan yang tidak dapat diberikan oleh pendidikan yang hanya berbasis buku. Komputer pribadi (PC) memberikan ‘kekuasaan’ yang lebih luas kepada peserta didik untuk menentukan sendiri pola perilaku belajar mereka.
  • Komunikasi berbantuan komputer juga menambah kemungkinan bagi peserta didik untuk berinteraksi secara beragam, mulai dari komunikasi satu-dengan-satu (one-to-one), satu-dengan-banyak (one-to-many), sampai banyak-dengan-banyak (many-to-many). Lebih jauh lagi, seorang mahasiswa dapat menggunakan semua pola komunikasi ini secara bersamaan, dari satu tempat yang jauh.

Dengan kata lain, kelebihan-kelebihan teknologi digital yang bersifat interaktif dan komunikatif harus lebih ditonjolkan daripada kelebihan dalam hal jangkauan dan kecepatan penyebaran informasi. Pada praktiknya, interaksi ini justru menjadi masalah besar. Hubungan pengajar dan mahasiswa secara online amatlah berbeda dibandingkan hubungan yang terjadi di ruang kelas. Jika pengajar kurang aktif memberi umpanbalik (feedback), maka e-learning akan kurang menarik bagi mahasiswa. Komunikasi antara pengajar dan yang belajar juga akan cepat memburuk jika pihak yang belajar lah yang justru menutup jalur komunikasi, misalnya dengan tidak membuka e-mail yang dikirim pengajar atau tidak mau masuk ke forum diskusi yang tersedia baginya. Banyak faktor lain, selain kesengajaan atau keengganan di kedua pihak, yang mempengaruhi komunikasi lewat online dan menghambat interaktivitas sebuah sistem e-learning. Dari segi teknologi, faktor kemudahan dan keleluasaan penggunaan sistem sangat menentukan keberlangsungan program e-learning.

Dalam konteks teknologi, kita mengenal ada Course Management Systems (CMS) dan Learning Management Systems (LMS). Menurut Carliner (2005), ada perbedaan antara keduanya walaupun ada pula hal-hal yang serupa di antara mereka. Kedua teknologi ini mengandalkan sistem pendaftaran aktif oleh peserta, menyediakan berbagai fasilitas komunikasi, mengijinkan pengajar mencatat dan melacak kinerja akademik, serta menyebarkan bahan kuliah secara cepat. Namun pada dasarnya kedua sistem ini dirancang untuk dua penggunaan yang berbeda. Kalau CMS terutama dirancang untuk kelas-kelas akademik di universitas, maka LMS dirancang untuk pendidikan di tempat kerja atau tempat usaha. Sudah barang tentu, suasana dan tujuan belajar di kedua wilayah ini amatlah berbeda.

Secara garis besar, CMS (contohnya Blackboard dan WebCT, atau yang berbasis open source, Moodle) memiliki komponen utama sebagai berikut:

  • Pengaturan materi pelajaran secara online. Sebagian besar perangkat CMS punya tombol-tombol yang amat mudah digunakan oleh para dosen untuk menempatkan silabus, jadwal kuliah, dan bahan-bahan pelajaran di dalam sistem.
  • Pangkalan data siswa yang dapat diisi nilai dan laporan perkembangan siswa, dikaitkan dengan fasilitas untuk membuat soal tes atau ujian secara online.
  • Ruang diskusi (discussion board) yang dapat digunakan dosen untuk mendiskusikan topik-topik kuliah di luar jam kelas.
  • Sarana komunikasi lain, misalnya untuk mengumumkan kegiatan tambahan atau informasi terkini, selain juga untuk mengingatkan para siswa agar menyelesaikan tugas mereka. Sarana ini dapat dipakai untuk pengumuman secara massal maupun secara individual, seperti dalam bentuk e-mail langsung ke mahasiswa tertentu.
  • Semacam “lemari” (locker) untuk mahasiswa menyimpan berkas-berkas pribadi untuk keperluan kuliah mereka secara online.
  • Fasilitas statistik yang menampilkan frekuensi penggunaan sistem, misalnya untuk memantau seberapa aktif para siswa mengunjungi sistem secara online.

Sebagian besar CMS mengijinkan para pengajar menggunakan alat-alat yang sudah lama tersedia, seperti PowerPoint, Word, Adobe Acrobat, dan sebagainya, sehingga praktis tidak diperlukan latihan-latihan khusus untuk menggunakannya. Itu sebabnya, CMS sangat mudah dipelajari dan cepat populer di kalangan pengajar. Namun ada beberapa juga kelemahannya, terutama dari segi fleksibilitas, karena CMS dirancang untuk standar pendidikan umum. Selain itu, ada kelemahan dari segi pengajaran interaktif. Walaupun para pengajar dapat melakukan ujian secara online, format ujian biasanya sangat terstandar dan mengingat bahwa standar yang digunakan adalah standar negara-negara barat, maka mungkin saja format itu tidak sesuai untuk keperluan lokal seperti di Indonesia. Sistem keamanan CMS juga perlu diperhatikan, terutama untuk keperluan penilaian kinerja siswa. Dalam lingkungan online tentu ada risiko amat besar penyalahgunaan fasilitas dan penggunaan “joki” dalam ujian tertulis. Itu sebabnya, seringkali CMS hanya menjadi fasilitas tambahan dari kuliah “tradisional” di kelas.

Berbeda dari CMS, Learning Management Systems (contohnya NetDimensions EKP, Saba, dan SumTotal Systems) merupakan sistem yang dirancang untuk pendidikan di tempat kerja. Fungsi-fungsi yang ditawarkan CMS di atas juga ada di LMS, namun biasanya sistem yang terakhir ini memang lebih fleksible karena dirancang untuk disesuaikan dengan kebutuhan institusi. Secara teknologis, LMS juga berorientasi kepada pihak pemelajar (learners) yang pada umumnya adalah juga pegawai atau pelaku bisnis. Jadi, orientasinya adalah pada pemberian fasilitas yang leluasa bagi pihak siswa; tidak seperti CMS yang adalah sebuah sistem bagi pihak pengajar. Banyak fasilitas di LMS yang memungkinkan pengguna mengatur sendiri pola belajar serta pengujian pengetahuan mereka. Walaupun sama dengan CMS karena LMS juga dapat dimanfaatkan untuk pola hibrida yang mencampur belajar di kelas dan belajar online, namun LMS menekankan pada belajar mandiri yang lebih cocok untuk para pegawai atau pelaku bisnis.

Jika dikemas dengan baik, LMS dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan para pegawai di sebuah perusahaan mengendalikan sendiri cara mereka memahami materi pelajaran, sedemikian rupa sehingga belajar online bisa lebih menarik daripada duduk di kelas mendengarkan kuliah. Program LMS juga dapat digunakan untuk menguji diri sendiri sebelum seorang peserta mengambil satu topik di suatu materi pelajaran. Seorang peserta pendidikan akan diminta mengisi semacam tes pendahuluan dan ia dapat segera mengetahui hasilnya. Ini semacam kemudahan bagi peserta untuk memiliki persepsi tentang dirinya sendiri sebelum mulai belajar. Dari hasil ini, peserta dihadapkan pada prediksi sejauh mana dia dapat lulus kalau dia melanjutkan kegiatan belajar. Hal ini memberikan semacam stimulan dan tantangan untuk terus belajar dan membuat perkiraan sendiri tentang hasil akhir yang dapat diraihnya. Setelah mengambil topik yang mereka pilih sendiri, akan ada tahap evaluasi akhir. Di sini dapat segera dilihat apakah ada learning gain, dan bagaimana proyeksi awal tercermin pada hasil akhir. Semua ini makin menarik, karena di sepanjang proses, peserta mendapat bantuan dalam bentuk audio maupun visualisasi yang menarik, serta kuis-kuis interaktif yang dapat mereka pakai untuk segera menguji pemahaman mereka sendiri.

Tentu saja, implikasi dari fleksibilitas dan kecanggihan LMS menjadikannya pilihan yang mahal pula. Selain itu, vendor pada umumnya akan mengenakan biaya tinggi untuk proses penyesuaian atau modifikasi program agar sesuai dengan tujuan sebuah perusahaan. Biasanya, LMS juga diintegrasikan dengan program yang lebih besar dalam bentuk sistem pengelolaan pengetahuan (knowledge management) dan menjadi bagian dari enterprise portal di perusahaan-perusahaan besar. Dalam konteks perguruan tinggi, sejalan dengan gejala-gejala globalisasi dan keterkaitan antara universitas di tingkat internasional, maka mungkin juga akhirnya LMS menjadi pilihan bagi program e-learning. Ini akan berdampak sangat mendasar pada persiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia (pengajar dan penyelenggara pendidikan).

Berbarengan dengan itu, diperlukan pula perubahan cara memandang proses pendidikan itu sendiri. Kalau dulu pendidikan dianggap melulu sebagai pemindahan pengetahuan dari ‘orang pintar’ ke orang yang belum- pintar, dan pada umumnya perpindahan itu adalah proses satu arah, maka kini pendidikan harus lebih dialogis, interaktif, dan berpusat kepada peserta didik (student cendered). Dalam cara pandang baru ini terkandung kepercayaan (dan harapan) bahwa peserta didik menjadi penentu utama dari dinamika pendidikan; dia lah yang menentukan sendiri, bagaimana caranya membangun pemahaman tentang hal-hal yang ingin dia pelajari.

Seperti yang sudah seringkali kita dengar, potensi Internet memungkinkan seseorang terhubungkan ke berbagai sumber pengetahuan. Jadi, guru atau pengajar mungkin saja bukan satu-satunya sumber utama pengetahuan seorang mahasiswa. Ini mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam kegiatan mengajar, karena seorang dosen kini harus menyadari bahwa dia juga diharapkan belajar terus (dan belajar bersama) mahasiswanya. Memang, untuk beberapa pengetahuan dan ketrampilan dasar, pengajaran yang terstruktur, dengan langkah-langkah yang tetap serta teratur, masih diperlukan. Tetapi, begitu peserta didik sudah memeroleh pengetahuan dan keterampilan dasar tersebut, maka pendidikan selanjutnya haruslah lebih konstruktif dan kolaboratif.

Pada akhirnya, e-learning menciptakan kondisi yang sedemikian rupa meningkatkan kegiatan belajar-mengajar bukan hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga di kalangan pengajar. Lebih jauh lagi, kondisi ini akhirnya juga menimbukan tuntutan berbeda pada peran perpustakaan. Mahasiswa dan pengajar akan menuntut perpustakaan lebih terbuka, lebih mudah diakses, dan mampu menimbulkan suasana interaktif antara berbagai komponen pendidikan. Harapan kepada manfaat teknologi telematika juga akan semakin tinggi, sehingga perpustakaan harus terus memikirkan bagaimana caranya memanfaatkan teknologi yang sudah ada sebaik-baiknya.

Dalam konteks ini, maka konsep perpustakaan digital sebenarnya adalah cara kepustakawanan menjawab tantangan itu. Perpustakaan digital merupakan salah satu upaya pustakawan memberikan kesempatan kepada pengguna (mahasiswa maupun dosen) untuk secara leluasa melakukan eksplorasi sumberdaya informasi, mencari dan menemukan sumber-sumber yang relevan, dan mengambil serta menggunakan informasi yang tepat. Semuanya ini harus dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar yang semakin lama semakin terbuka, demokratis, dan cepat berkembang. Teknologi digital memungkinkan perpustakaan untuk berperan dalam upaya ini.